<P>Jakarta, <STRONG>NU Online<BR></STRONG>Fenomena Golongan Putih (Golput) yang menguat akan menjadi ancaman bagi proses demokrasi di Indonesia untuk menghasilkan suatu kekuasaan yang lebih baik, kata pengamat politik J. Kristiadi. "Kalau Golput menjadi fenomena besar dan signifikan, itu berbahaya untuk demokrasi," katanya.</P>
<P>Ia menjelaskan, orang-orang Golput umumnya mereka yang memiliki pemahaman politik secara matang. Tetapi mereka merasa tidak ada gunanya melaksanakan suatu perubahan kekuasaan melalui Pemilu. Tetapi, mereka merasa frustasi dan pesimis terhadap situasi politik yang ada sebagai momentum tepat melakukan perbaikan kekuasaan secara konvensional seperti melalui Pemilu.</P><>
<P>"Dengan Golput akan mengajak orang untuk tidak berpartisipasi dalam satu proses yang sebetulnya masyarakat harus ikut serta dalam proses yang memang sangat rumit tetapi sebagai pilihan yang ada dalam rangka mengelola suatu kekuasaan yang baik," katanya.</P>
<P>Ia menilai, suara Golput pada Pemilu mendatang cenderung semakin rendah ketimbang Pemilu lalu karena Golput hanyalah "fenomena urban", suaranya tidak bisa diverifikasi sebagai Golput atau suara rusak, atau orang memang tidak tahu cara melakukan pemilihan. "Kecuali kalau ada kotak sendiri untuk Golput, maka jumlah suara Golput sangat tidak jelas," katanya.</P>
<P>Ia mengakui sikap pesimis masyarakat terhadap perilaku elit politik yang makin menguat cenderung mengakibat penguatan Golput. Tetapi, katanya, masih ada kekuatan lain yang lebih kuat ketimbang sikap pesimistis tersebut. Nilai paternalistik yang masih kuat di Indonesia bisa meminimalisir Golput. Para tokoh formal dan informal, katanya, akan "habis-habisan" menggiring pendukungnya untuk turut melakukan pemilihan.</P>
<P>"Bisa saja dengan cara membagi sesuatu yang sifatnya sangat konkret dalam masyarakat, mereka akan milih, apalagi masyarakat sekarang yang sangat kekurangan pasti akan memilih dengan pilihan seperti itu daripada yang sifatnya abstrak dan ideologis," katanya.</P>
<P>Ia mengemukakan perlunya upaya pendidikan politik masyarakat supaya mereka semakin memiliki tingkat kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya berperan aktif dalam proses Pemilu.</P>
<P>"Para tokoh masyarakat lebih banyak membantu melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Tapi yang lebih baik bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa Pemilu memberikan harapan. Itu yang tidak mudah dan kita belum sampai kesana," katanya.Ia juga menilai, proses Pemilu mendatang masih cenderung sebagai pesta demokrasi dalam bentuk hura-hura. Sedangkan masyarakat yang memiliki hak pilih cenderung melakukan pilihan berdasarkan pertimbangan irasional.</P>
<P>"Umumnya rakyat belum bisa melakukan pilihan secara rasional, masih irasional, variabel yang sangat mempengaruhi perilaku pemilih adalah faktor paternalistik dan ’money politic’. Itu luar biasa," kata Kristiadi.(mkf)</P>
<P> </P>