<div>Jakarta, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">NU Online</span><br></div><div>Informasi bohong atau hoaks masih membanjiri media sosial. Mabes Polri pada September 2018 mencatat tiap hari rata-rata ada 3.500 informasi hoaks beredar di Medsos. Jumlah ini diprediksi terus meningkat menjelang Pilpres 2019.</div><div><br></div><div>Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Andi Najmi Fuadi mendorong aparat kepolisian agar menegakkan hukum terhadap kasus penyebaran hokas di media sosial. Penegakkan dilakukan karena selain sebagai peristiwa hukum, juga juga untuk membuat pelakunya jera.</div><div><br></div><div>"Saya kira semuanya harus diproses, tidak boleh dibiarkan. Ini negara hukum. Tidak ada peristiwa hukum yang tidak ada endingnya, harus ada endingnya," kata Andi di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (3/1).</div><div><br></div><div>Menurutnya, sekalipun personel dan perangkat aparat kepolisian tidak sebanding, pihak kepolisian bisa melakukan skala prioritas dalam menangani kasus hoaks. Baik berdasarkan jenis kasus, isi maupun kategori pelakunya. Menurutnya, hal itu bukan sebagai.</div><div><br></div><div>"Meskipun prinsip aspek diskrimintaif harus dihindari, tapi strategi dan pola kerja itu kan boleh-boleh saja," ucapnya.</div><div><br></div><div>Selain menegakkan hukum, aparat juga perlu menjawab pertanyaan masyarakat dan mengantisipasi hal-hal lain yang meresahkan masyarakat tentang keseriusan dalam menangani hoaks, seperti mengeluarkan rilis secara rutin tentang penanganan peristiwa yang terkait dengan Undang-Undang ITE atau ujaran kebencian.</div><div><br></div><div>"Saya kira itu persoalan yang sangat serius karena di samping ada penanganan juga ada update yang harus diketahui oleh masyarakat," ucapnya. <span style="font-weight: bold;">(Husni Sahal/Fathoni)</span></div>
