Kenapa RUU LPKP Penting untuk Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren?

KH M. Mujib Qulyubi.
<div>Jakarta, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">NU Online</span><br></div><div>Rancangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (LPKP) akan dibahas secara serius dalam perhelatan Munas dan Konbes NU di Lombok, NTB pada 23-25 November 2017 mendatang.</div><div><br></div><div>Untuk mematangkan pembahasan RUU yang sudah bergulir di Badan Legislatif (Baleg) ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Pra-Munas dan Konbes pada Selasa (24/10) lalu di Gedung PBNU.</div><div><br></div><div>Dalam FGD tersebut, Koordinator Komisi Bahtsul Masail Munas dan Konbes NU, KH M. Mujib Qulyubi menjelaskan, RUU ini penting sebagai upaya memperkuat Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren dalam percaturan kebijakan nasional.</div><div><br></div><div>“Dalam bingkai kebijakan nasional, RUU ini penting untuk memperkuat guru-guru di pesantren. Jujur saja, selama ini mereka belum terpikirkan secara sempurna seperti guru-guru di sekolah umum,” jelas Kiai Mujib saat ditemui <span style="font-style: italic;">NU Online</span> usai FGD.</div><div><br></div><div>Saat ini, imbuhnya, kebijakan pendidikan keagamaan dan pesantren hanya bersifat vertikal di Kementerian Agama, sehingga pemerintah daerah itu takut khawatir mau memberikan anggaran untuk pendidikan keagamaan dan pesantren karena terbentur UU Otonomi Daerah.</div><div><br></div><div>“Upaya penguatan melalui kebijakan legislasi ini juga ada korelasinya dengan disahkannya hari santri. Jangan sampai hanya mengenang kejayaan masa lalu tanpa memikirkan pesantren di masa depan,” tegas Kiai Mujib.&nbsp;</div><div><br></div><div>Makna disahkannya hari santri, sambung Kiai Mujib, mesti mempunyai manfaat yang besar. Pengakuan negara terhadap hari santri, artinya pengakuan eksistensi santri beserta kiainya. Ini juga harus menjadi acuan dan pijakan untuk disahkan RUU LPKP ini.</div><div><br></div><div>Ia menjelaskan, PBNU akan terus mengawal disahkannya RUU ini untuk memperkuat eksistensi pesantren beserta perangkatnya, yaitu santri, kiai, dan lain-lain. Namun, peraturan ini dengan catatan tidak mengkungkung kergaman yang ada dalam setiap pondok pesantren.</div><div><br></div><div>Sehingga nomenklatur pesantren jangan hilang, kalau hanya lembaga pendidikan keagamaan, artinya pesantren akan hilang. Pesantren memang bagian dari lembaga pendidikan keagamaan, tetapi mempunyai ciri khas dan sejarah khusus bagi negara ini.</div><div><br></div><div>Kiai Mujib menerangkan, kalau dulu Gus Dur melarang pesantren untuk masuk GBHN, karena khawatir terikat dengan peraturan, sekarang malah akan masuk UU, tapi keberadaannya harus memperkuat dan manfaat untuk pesantren.</div><div><br></div><div>“Kelebihan dan identitas pesantren tidak perlu diubah seperti independensi, ruh-ruh pesantren, seperti tidak terikat terlalu dalam dengan peraturan-peraturan, lalu jangan sampai ada peraturan derivasi dari pesantren, seperti standar-standar yang akan menjadikan pesantren kecil menjadi hilang,” jelas Katib Syuriyah PBNU ini.</div><div><br></div><div>“Pasal-pasal dalam RUU itu, jelasnya, tinggal pesantren didefinisikan secara <span style="font-style: italic;">jami’ mani’</span>, akomodatif tetapi juga selektif, apa kriteria pondok pesantren itu,” sambungnya.</div><div><br></div><div>Pembahasan RUU ini akan menjadi rekomendasi utama di Bahtsul Masail Qonuniyah Munas dan Konbes NU di Lombok. Rekomendasi ini bisa langsung disampaikan ke Presiden, DPR, dan Kementerian terkait. <span style="font-weight: bold;">(Fathoni)</span></div>

Nasional LAINNYA