<div>Jakarta, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">NU Online</span><br></div><div>Pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia setiap lima tahun sekali mempunyai mekanisme dan sistem hukum yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi dasar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Putusan yang telah diketok MK tersebut bersifat final dan mengikat.</div><div><br></div><div>Terkait regulasi itu, Pakar Hukum Konstitusi Refly Harun menegaskan bahwa ketika pemilihan presiden hanya diikuti oleh dua pasang calon, maka pemenangnya ialah yang mendapat suara terbanyak. Hal ini tertuang dalam Putusan MK pada 3 Juli 2014.</div><div><br></div><div>“Kalau jumlah pasangannya cuma dua, tidak dibutuhkan syarat persentase dan persebaran suara. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014,” jelas Refly Harun lewat twitternya pada 20 April 2019.</div><div><br></div><div>Dikutip <span style="font-style: italic;">NU Online</span> dari <span style="font-style: italic; text-decoration-line: underline;"><a href="https://tirto.id/keputusan-mk-pemenang-pilpres-adalah-yang-dapat-suara-terbanyak-dmYJ" target="_blank">Tirto</a></span>, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemilihan Presiden dan Wakilnya diatur lewat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Aturan kemudian dipertegas lagi pada Pasal 159, utamanya ayat (1) dan (2).</div><div><br></div><div>Ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.</div><div><br></div><div>Kemudian, di ayat (2) disebutkan ketika tidak ada pasangan calon yang bisa memenuhi kualifikasi di ayat (1), maka kedua pasangan calon akan dilibatkan dalam pemilihan kembali dengan suara terbanyak yang jadi pemenangnya.</div><div><br></div><div>Baik ayat (1) maupun (2) merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.</div><div><br></div><div>Namun, dalam perkembangannya, aturan ini justru menimbulkan polemik sebab dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil. Pada 2014, upaya uji materi pun dilakukan.</div><div><br></div><div>Uji materi dilakukan karena pada pilpres 2014 hanya ada dua paslon (Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa) yang berpartisipasi. Apabila ketentuan Pasal 159 tetap diberlakukan, potensi pemborosan keuangan negara, ketidakstabilan politik, serta gesekan di akar rumput berpotensi besar muncul di permukaan.</div><div><br></div><div>Para pemohon menilai, ketentuan tersebut berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum. Argumennya, dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, di samping wajib menjamin keadilan, juga harus memastikan terwujudnya kepastian hukum.</div><div><br></div><div>Karena itu, agar menghindari kesimpangsiuran pemahaman dan menjamin keadilan maupun kepastian hukum, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.</div><div><br></div><div>Pasal ini dinilai tidak secara eksplisit menjelaskan berapa jumlah pasangan calon dan hal tersebut baru diketahui jika dikaitkan dengan ketentuan ayat (2) di pasal yang sama.</div><div><br></div><div>Padahal, dengan melihat situasi pada pilpres 2014, hanya terdapat dua pasangan calon yang bertarung. Pemohon beranggapan konstruksi hukum yang dibangun dalam Pasal 159 adalah untuk pemilihan yang kontestannya lebih dari dua pasangan.</div><div><br></div><div>MK pada akhirnya mengabulkan uji materi para pemohon yang kemudian dituangkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bersifat inkonstitusional bersyarat, sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden.</div><div><br></div><div>Penetapan putusan ini punya arti: apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan resmi dilantik oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak, sehingga syarat persentase persebaran suara juga jadi tidak berlaku.</div><div><br></div><div>Putusan MK lantas dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. <span style="font-weight: bold;">(Fathoni)</span></div>
Nasional
PEMILU 2019
Keputusan MK: Pemenang Pilpres adalah yang Mendapat Suara Terbanyak
- Rabu, 24 April 2019 | 16:15 WIB
