<P><STRONG>Jakarta, <EM>NU Online<BR></EM></STRONG>Sejumlah keluarga korban malpraktik melakukan unjuk rasa di depan kantor Departemen Kesehatan. Mereka menyatakan penolakan terhadap rencana pengesahan Rancangan Undang - Undang (RUU) Praktik Kedokteran menjadi Undang - Undang Praktik Kedokteran. </P>
<P>"Kami menolak pengesahan RUU Praktik Kedokteran karena RUU tersebut hanya berisi perlindungan kepentingan dokter semata-mata. RUU tersebut tidak sedikit pun memuat ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap pasien,"kata salah seorang pengacara di LBH Kesehatan, Rahil Jertina kepada NU Online, Rabu (1/9). </P><>
<P>Menurut Jertina, selama pemerintah tidak membuat terlebih dulu UU Pasien maka kami tetap akan menolak pengesahan terhadap RUU Praktik Kedokteran. </P>
<P>Unjuk rasa untuk menolak pengesahan RUU Praktik Kedokteran tersebut diikuti oleh seratus orang. Selain para pengurus LBH Kesehatan, sebagian besar dari mereka merupakan pasien korban malpraktik dan keluarga mereka. </P>
<P>Selain penolakan atas RUU tersebut, para peserta unjuk rasa yang memulai aksi di depan kantor Departemen Kesehatan pada pukul 11.30 WIB tersebut juga meminta dialog dengan menteri kesehatan. Namun hingga pukul 14.00 WIB, pihak departemen kesehatan tidak memberikan jawaban. </P>
<P>Meski demikian, para pengunjuk rasa tidak kehilangan semangat. Mengiringi orasi yang dilakukan teman-temannya, mereka pun meneriakkan yel - yel "Tolak RUU Kesehatan". Sebagian mereka juga menenteng poster yang berisi tulisan tentang buruknya pelayanan rumah sakit yang lebih mengutamakan duit dibanding keselamatan pasien, seperti: "Bayar Dulu Dong, Baru Dapat Pengobatan". </P>
<P>Manteb (49 th), salah satu peserta unjuk rasa yang mengaku anak perempuannya meninggal dunia gara - gara malpraktik mengatakan,"Tujuan saya menolak pengesahan RUU Praktik Kedokteran adalah agar kematian anak saya akibat malpraktik tidak terulang kepada orang lain. Cukup anak saya, karena itu RUU praktik kedokteran harus ditolak, dan diganti dengan UU yang memberikan perlindungan kepada pasien,"kata Manteb kepada <EM>NU Online</EM>.</P>
<P>Ihwal kematian Wulan Yulianti (8 bln) anak ketiga dari pasangan Manteb dan Wakia (28 th) bermula saat buah hatinya itu berumur 2 bulan. "Saat berumur 2 bulan terjadi kelainan pada perut anak saya. Kemudian saya periksakan ke rumah sakit daerah di Bekasi. Dokter di sana menyarankan kami untuk membawanya ke RSCM. Setelah mendapat perawatan di RSCM, pada saat umur 4 bulan dilakukan operasi pertama terhadap Wulan. Ternyata operasi dilakukan pada 8 Desember 2003 tanpa mengangkat penyakit yang telah membuat perut wulan membesar,"kata Suami Wakiah ini.</P>
<P>Sebagai akibat dari operasi itu, seperti ditunjukkan dari foto Wulan setelah operasi pertama, perut anak ketiga dari Manteb tersebut dijahit. "Seorang profesor yang bernama Bapak Jayadi meminta saya untuk membawa pulang anak saya. Dia beralasan, anak saya terkena tumor jinak dan tidak ada obatnya, selain dilakukan operasi kembali,"kata Manteb menirukan penjelasan Jayadi.</P>
<P>Karena tidak mungkin operasi dilakukan sesegera mungkin. Manteb yang mengaku mendapat biaya operasi Wulan dari dana JPS tersebut pun membawa pulang anaknya. Namun karena tidak menampakkan perubahan, Manteb yang hanya pedagang bakso dorong di Bekasi ini pun harus pontang panting mencari dana untuk operasi kedua Wulan. Setelah mendapat kepastian bantuan biaya pengobatan dari Yayasan Bunda Suci, pada saat Wulan sudah berumur delapan bulan, operasi yang kedua dilakukan kembali di RSCM. </P>
<P>Hampir sama dengan pembedahan Wulan yang pertama, pembedahan pada 19 April 2004 pun tanpa mengangkat tumor yang disebut-sebut sebagai penyebab sakit di perut Wulan. Sejak operasi kedua dilakukan, kata Manteb, kondisi Wulan semakin parah, perutnya pun tampak menghitam. </P>
<P>"Karena bertambah parah, maka satu jam sebelum anak saya meninggal pada 25 April 2004, pertanyaan saya dijawab salah seorang dokter yang turut melakukan pembedahan. Dokter yang mengaku bernama Nina tersebut menjelaskan kalau operasi yang dilakukan pada anak saya hanya sebatas membedah, sementara bagian-bagian dalam perut Wulan yang telah dipotong sebagian tidak dijahit. Jadi hanya bagian luarnya saja yang dijahit,"kata Manteb mengisahkan ihwal kematian anaknya.</P>
<P>"Saat itu saya bertanya, mengenai alasan mereka tidak menjahit sebagian dari bagian dalam perut Wulan yang telah dipotong. Menurut Nina, kalau dijahit semua, maka perutnya tidak akan muat,"kata Manteb melanjutkan sambil terisak dan meneteskan air mata. Tekanan begitu berat setelah dirinya mengetahui perihal tindakan buruk dalam operasi
