Larangan Golput: Perspektif Kaidah Fiqih

Ilustrasi golput (Kompas)
<div><span style="font-weight: bold;">Oleh Fathoni Ahmad<br></span></div><div><br></div><div>‘Hidup adalah pilihan’ merupakan adagium populer yang menyertai aktivitas manusia. Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang terkadang tidak mudah untuk diterima bagi sebagian orang. Namun, setiap orang bisa mengubah <span style="font-style: italic;">mindset</span> bahwa tidak ada konsekuensi dalam hidup, karena kehidupan merupakan konsekuensi itu sendiri. Ini bisa diartikan secara bebas bahwa jika tidak mau menerima konsekuensi, manusia tidak perlu menentukan pilihan yang artinya bahwa ia sudah keluar dari prinsip kehidupan tersebut.</div><div><br></div><div>Dalam sudut pandang kehidupan demokrasi terkait memilih pemimpin atau wakil rakyat, mekanisme yang berjalan di Indonesia ialah melalui penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Secara konstitusi, negara mengatur setiap warganya untuk menentukan pilihan calon, baik calon kepala daerah, calon presiden, maupun calon legislatif. Namun pada praktiknya, sebagian orang memutuskan untuk tidak memilih karena sejumlah alasan, yaitu alasan administratif dan idealisme.</div><div><br></div><div>Di Indonesia kelompok ini disebut dengan golongan putih atau golput. Namun, para ulama, khususnya santri dan kiai di pesantren memegang prinsip kaidah fiqih ketika dihadapkan oleh sebuah pilihan. Kaidah fiqih yang menjadi pijakan ialah, <span style="font-style: italic;">Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib</span> (sesuatu yang yang menjadi sempurna karenanya, maka ia menjadi wajib). Tentu saja sebuah negara akan sempurna jika memiliki kepala negara dan pemerintahan. Dengan demikian, wajib bagi warga negara untuk memilih kepala negara dalam sistem demokrasi Pancasila yang berkembang di Indonesia.</div><div><br></div><div>Mengutip ayahnya Syekh M. Said Ramadhan Al-Buthi, Ketua Umum Persatuan Ulama Bilad Syam (Suriah) Syekh M. Taufiq Ramadhan Al-Buthi (2019) mengatakan bahwa negara tanpa pemerintah akan hancur. Prinsip tersebut terus-menerus disampaikan oleh Syekh Said Ramadhan Al-Buthi mengingat fitnah dan provokasi kelompok ekstrem-jihadis yang dilakukan agar masyarakat Suriah tidak lagi mempercayai pemerintah sah yang sedang memimpin.</div><div><br></div><div>Atas fitnah dan provokasi tersebut, maka muncul kelompok-kelompok pemberontak terhadap pemerintahan yang sah di Suriah. Perang saudara tidak bisa dielakkan. Ratusan ribu korban berjatuhan, hal ini diperparah oleh campur tangan militer asing yang ikut menyalakan senjata atas nama kebebasan hak-hak kemanusiaan. Kampanye pentingnya eksistensi pemerintahan yang didukung oleh rakyatnya diakui Syekh Taufiq Al-Buthi mempunyai dampak positif.</div><div><br></div><div>Karena dianggap mengganggu dan menghalangi misi kelompok ekstrem-jihadis, Syekh Said Ramadhan Al-Buthi tewas oleh aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Tragedi tersebut terjadi Kamis, 21 Maret 2013 di Masjid Jami’Al-Iman, Mazraa, Damaskus, Suriah. Saat itu dirinya sedang mengisi pengajian rutin di masjid tersebut. Dalam kejadian yang menelan banyak korban tersebut, cucu Syekh Said Al-Buthi yang bernama Ahmad juga ikut menjadi korban pengeboman.</div><div><br></div><div>Dari kaidah <span style="font-style: italic;">Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib,</span> Syaikhul Islam Ali dalam <span style="font-style: italic;">Kaidah Fiqih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama</span> (2017) menjelaskan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah semata. Sebab itu, demi menjaga ajaran agama di sebuah tanah air atau negara serta agar terhindar dari kerusakan (<span style="font-style: italic;">mafsadat</span>) yang lebih besar, agama menyaratkan adanya sebuah <span style="font-style: italic;">imarah</span> (kepemimpinan) yang mengatur urusan duniawi dan menjaga agama (<span style="font-style: italic;">hirasatud din wa siyasatud dunya</span>). Islam mengakui dan menyaratkan adanya kepemimpinan agar pelaksanaan ajaran Islam bisa ditegakkan dalam keadaan aman.</div><div><br></div><div>Dalam kaidah fiqih yang lain, manusia tidak berhenti pada level memilih semata, tetapi juga harus memikirkan kemaslahatan yang lebih luas ketika dihadapkan pada dua pilihan sulit, terutama bagi yang memegang prinsip golput. Kaidah yang bisa menjadi pijakan ialah <span style="font-style: italic;">dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih</span> (menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan).</div><div><br></div><div>Keburukan untuk tidak memilih pemimpin ialah dapat membuka pintu bagi orang-orang yang tidak baik untuk menjadi pemimpin. Jika menurut kelompok golput dua pilihannya tidak baik menurut idealismenya, agama memberikan panduan untuk memilih yang kejelekannya sedikit. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih <span style="font-style: italic;">ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh</span> (sesuatu yang tidak bisa dicapai atau diakukan semuanya, jangan ditinggal seluruhnya). Kalau menghendaki pemimpin yang sempurna, maka selamanya sebuah negara tidak akan memiliki pemimpin. Namun, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang terbaik, tapi setidaknya mencegah orang buruk untuk memimpin.</div><div><br></div><div>Dalam penjelasan lain, Syaikhul Islam Ali menegaskan keberadaan pemimpin adalah keharusan (<span style="font-style: italic;">wajib</span>); yang mana keberadaannya tidak sempurna kecuali dengan suara. Sebab itu, memilih pemimpin menjadi bagian dari ibadah sosial yang merupakan ejawantah (wujud) atas spiritualitas manusia. Maka golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin tidak bisa serta merta diterima atas dasar hak asasi.</div><div><br></div><div>Demokrasi Pancasila di Indonesia menekankan kedaulatan rakyat. Hal ini sudah disepakati oleh para pendiri bangsa (ulama, kiai, dan tokoh nasionalis). Ini jelas merupakan pertemuan antara Islam dan demokrasi. Jika para ulama sudah menerima model demokrasi, maka umat juga harus menerima turunannya atau derivasi dari demokrasi yaitu proses pemilihan pemimpin, pelaksanaan pemilu, dan penggunaan hak suara, bukan hak untuk tidak bersuara. Kaidah fiqihnya berbunyi, <span style="font-style: italic;">ar-ridha bis sya’i ridha bima yatawalladu minhu.</span></div><div><br></div><div>Keputusan memilih untuk tidak memilih hendaknya didasarkan konteks. Setidaknya konteks moral yang dibangun atas dasar demokrasi berkeadaban. Sebab, kemungkinannya kecil jika seseorang dihadapkan pada dua pilihan tapi menurutnya dua pilihan tersebut tidak ada sisi baiknya sama sekali sehingga memilih golput. Jika seseorang merasa bahwa kebebasan berpendapat dan bersuara diatur dalam demokrasi, maka sudah semestinya memperkuat demokrasi dengan menggunakan hak suaranya. Pencoblosan hanya mekanisme pemilihan, substansinya ialah <span style="font-style: italic;">urun rembuk</span> memberikan suara. <span style="font-style: italic;">Wallahu a’lam bisshawab.</span></div><div><br></div><div><br></div><div><span style="font-style: italic;">Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta</span></div>

Nasional LAINNYA