LP Ma'arif: Ubah Konten dan Metode Pembelajaran Sejarah

foto ilustrasi
<div>Jakarta, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">NU Online</span><br></div><div>Lembaga Pendidikan (LP) Maarif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai harus ada perubahan konten sejarah yang ada dalam kurikulum dan mengubah metode pembelajarannya.</div><div><br></div><div>"Kita harus mengubah konten dan metode pengajaran sejarah," kata&nbsp; Ketua LP Ma'arif PBNU KH Arifin Junaidi kepada <span style="font-style: italic;">NU Online</span>&nbsp;di Jakarta pada Rabu (7/11).</div><div><br></div><div>Setidaknya, ia mengungkapkan empat alasan mengenai hal tersebut. Pertama, pelajaran terpaku pada pertanyaan apa, siapa, kapan dan di mana, tidak sampai pada kenapa dan bagaimana.&nbsp;</div><div><br></div><div>"Kedua, keterpakuan tersebut diperparah dengan metode belajar hafalan. Dua hal ini, membuat pembelajaran sejarah membosankan sehingga perlu diubah metodenya," sarannya.</div><div><br></div><div>Ketiga, pilihan konten dan metodenya seperti itu, maka sejarah tidak ada korelasi dengan kekinian dan masa depan. Keempat, sejarah dipolitisir penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya.&nbsp;</div><div><br></div><div>"Ini bisa kita lihat pada pelaku sejarah yang ditampilkan selalu dari penguasa. Akibatnya, ada monopoli kebenaran sejarah. Akibat lebih lanjut dari hal ini adalah sejarah dijadikan alat indoktrinasi dan cuci otak," tandas Arifin.</div><div><br></div><div>LP Ma'arif, kata Kiai asal Jepara ini, sudah memulai pembelajaran sejarah yang tidak hanya menampilkan sosok elit saja, namun juga dari kalangan akar rumput.</div><div><br></div><div>"Konten dan metode pembelajaran disesuaikan dengan perkembangan usia anak didik, namun ini masih terkendala oleh beban kurikulum yang ditetapkan dan diterapkan pemerintah, dan keterbatasan metodologis para tenaga didik," ungkapnya.</div><div><br></div><div>Lebih lanjut, ia juga menyatakan perlu pembelajaran sejarah melalui tempat di luar sekolah, seperti tempat ibadah.</div><div><br></div><div>Peristiwa 10 November, misalnya, yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Menurutnya, harus ditampilkan tokoh-tokoh dan peran rakyat kecil dalam peristiwa tersebut, bukan hanya elitnya saja, antara lain santri dan rakyat. Dua kelompok ini juga berperan bahu-membahu dalam peristiwa tersebut.</div><div><br></div><div>Contoh lain, peristiwa G30S, harus ditampilkan juga peran tokoh-tokoh lain dalam peristiwa tersebut. Tidak hanya terpaku pada satu tokoh seperti selama ini. "Kita tahu betapa besar peran Banser dan keluarga besar NU. Namun itu kita ketahui dari bahasa tutur bukan dari bahan tertulis, yang bukan tidak mungkin itu akan terlupakan generasi yang akan datang," terangnya.</div><div><br></div><div>Kalau itu bisa kita lakukan, menurutnya, maka pahlawan bangsa kita tak akan terkikis atau tersingkirkan oleh superhero kartun dan superhero fiksi lainnya. "Terlupakan pahlawan bangsa dan dipujanya superhero fiksi bukan tak mungkin akan mengerdilkan bangsa kita, bahkan lenyap dari sejarah," katanya.</div><div><br></div><div>Sebab, sebagaimana penamaan sejarah sendiri yang berasal dari Bahasa Arab syajaratun, yang berarti pohon, ini maknanya bahwa dari akar, batang, dahan, ranting, dan daun memiliki manfaat bagi buah yang dipetik dari pohon. Buah yang kita petik itu juga ada manfaatnya bagi tumbuhnya pohon-pohon lain selanjutnya.</div><div><br></div><div>"Begitu pula dengan sejarah. Kondisi yang kita alamai saat tak terlepas dari peristiwa di masa lalu dan mempengaruhi masa depan kita," pungkasnya. (<span style="font-weight: bold;">Syakir NF/Muiz</span>)</div>

Nasional LAINNYA