<p>Semarang, <strong><em>NU Online</em></strong><br />Sektor pertanian, termasuk kehutanan dan kelautan adalah yang paling terpukul akibat adanya perubahan iklim dunia. Petani dan nelayan yang mayoritas di negeri ini masih saja terpuruk dalam berbagai masalah karena tak diurus baik oleh negara. <br /><br />Karena itulah, pemberdayaan terhadap mereka tak boleh berhenti. Namun untuk memberdayakan petani haruslah benar-benar melibatkan petani langsung. Kelompok tani juga harus yang sejati. Bukan kelompok jadi-jadian yang dibentuk elit desa maupun kota untuk nadongi proyek pemerintah. <><br /><br />Demikian masalah yang dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Panduan Aksi Penguatan Kelambagaan dan Pemberdayaan Kelompok Tani dan Nelayan untuk Mewujudkan Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan di Tengah Perubahan Iklim yang diadakan Pimpinan Pusat Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (PP LPPNU) bekerjasama dengan LSM Hans Seidel Foundation Jerman di Hotel Santika Premiere Semarang selama tiga hari (29-31/5). <br /><br />Acara diikuti perwakilan Pimpinan Wilayah LPPNU Kalsel, Katim, Kalteng, Jatim, DIY dan Banten, serta Pimpinan Cabang LPPNU dari beberapa kabupaten/kota di Jawa. <br /><br />Dalam diskusi yang menghadirkan pajabat Perum Perhutani Unit I Jateng dan Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Jateng kemarin, ketua PP LPPNU DR Ahmad Dimyati memaparkan, petani harus diperkuat posisi tawarnya melalui kelembagaan. Itu sangat mendesak dan mutlak diperlukan. Agar petani dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usaha tani di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem. <br /><br />“Petani perlu diberdayakan terus. Kelompok kaum tani harus dikuatkan. Sebab perubahan iklim sekarang ini sangat berdampak serius di sektor pertanian dalam arti luas,” tuturnya. <br /><br />Dimyati yang juga Staf Peneliti di Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI menambahkan, kelembagaan petani dan nelayan memiliki titik strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis pedesaan dan menjadi ujung tombak dalam adaptasi perubahan iklim. <br /><br />Karena itu, lanjutnya, seluruh sumber daya pedesaan harus digerakkan dan dipriotaskan dalam program tersebut. Terlebih lagi di Jawa Tengah yang gubernurnya punya visi Bali Ndeso Mbangun Deso. <br /><br />“Petani dan nelayan perlu dikonsolidasikan. Peningkataan keberdayaan petani harus dari hulu ke hilir. Mulai produksi hingga pemasarannya,” tutur mantan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian ini didampingi Ketua PBNU Prof DR Muhammad Maksum. <br /><br />Ditegaskannya, semua aspek tersebut dilakukan dengan pendekatan tradisi dan nilai keislaman ala NU. Yakni toleran, moderat, seimbang, adil, dan menjungjungtinggi hak-hak asasi manusia. <br /><br /><em><strong>Perlu Pendekatan Spiritualitas</strong></em><br />Sekretaris Umum PP LPPNU Imam Pituduh menambahkan, pengembangan yang hendak disusun dalam agendanya tersebut salah satunya adalah dengan pendekatan spiritualitas. <br /><br />Diterangkannya, pertanian di zaman dulu sukses dengan cara tradisional yang memiliki kearifan luar biasa. Dicontohkannya, para petani zaman dulu setiap pagi mengitari sawahnya sambil melagukan tembang atau syair.</p>
<p>Lalu, siang atau sorenya petani berkumpul membicarakan soal hama, soal pengarian dan macam-macam lainnya. Malamnya pak tani berdoa memohon keselamatan atas tanamannya dan meminta diberi panen melimpah. <br /><br />Jadi, kata Pituduh, hubungan manusia dengan alam, sesama dan dengan Tuhan selalu terjaga. Pertanian sebagai pekerjaan dijalani dengan semangat spiritualitas. Tidak sekedar materialistis seperti kebanyakan orang sekarang. <br /><br />“Dulu simbah kita bertani dengan penuh penghayatan. Harmoni dengan alam, sesama manusia dan Tuhan. Sehinga hasilnya baik dan membawa berkah bagi hidupnya. Sedangkan sekarang, kebanyakan materalistis semata. Habis menanam ditinggal. Kalau ada hama disemprot pestisida. Semua proses pakai mesin dan bahan kimia,” paparnya. <br /><br />Orang Eropa yang modern, kata dia, telah meninggalkan pertanian serba materialistis. Dan berupaya kembali ke alam serta mencari kearifan budaya. Itulah sebabnya, LSM Jerman mendukung LPPNU. Terlebih pihaknya telah menyusun kurikulum pertanian berpola spiritualitas sejak setahun lalu. <br /><br />“Orang Eropa sudah meninggalkan pertanian materialistis. Mereka ingin kembali ke alam dan spiritual. Saya kira kita memang perlu kembali ke kearifan nenek moyang,” jelasnya. <br /><br />Disambung Dimyati, secara sederhana yang dimaksud berbasis spiritualitas adalah mengelola pertanian sebagai bagian dari ibadah. Langkahnya tidak sekedar khutbah atau ceramah, tetapi juga melibatkan aspek tasawwuf.</p>
<p>Karena itu penyusunan kurikulumnya melibatkan Jamiyyah Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah, lembaga NU yang membidani masalah tarekat. <br />Dimyati menjelaskan, lembaganya diberi amanah oleh PBNU untuk melakukan pembangunan pedesaan, pemeliharaan sumberdaya alam dan pengembangan energi hayati. <br /><br />“Bagi kami, pertanian tak semata dengan pengetahuan dan manajerial agribisnis, tetapi menggunakan semangat ruhani,” pungkasnya. <br /><br /><br /><strong>Redaktur : Syaifullah Amin</strong><br /><strong>Kontributor : Muhamamd Ichwan</strong></p>
