<p>Jombang, <em><strong>NU Online</strong></em><br />Berpofesi sebagai petani di Indoseia yang merupakan negara agraris ini harus memiliki keahlian dalam bidang astronomi dan lingkungan. Petani juga harus menjaga hubungan antar manusia dengan alam dan ekosistem lain.<br /><><br />Untuk itu, Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU) Jombang membedah kitab Primbon perbintangan karangan Abu Ma’syar Al Falaki ahli ilmu falak Yunani. Dengan menghadirkan narasumber Imam Pituduh, sekretaris Pengurus Pusat LPPNU. Diskusi dengan warga NU yang meruapakan petani dilakukan di Aula PCNU Jombang, Rabu (24/8) bertepatan dengan malam 25 bulan Ramadhan dengan tema “ Tata Kelola Industri Hayati harus Berbasis Spiritual”.<br /><br />”Dalam kitab ini bisa dibuktikan dengan akal sehat, jadi jika ada yang mengatakan kitab-kitab salaf itu bidah dan neko-neko itu mereka sendiri yang tidak faham,” ujarnya seperti menyindir ormas yang menolak kitab ulama salaf dan hanya berpedoman Al Quran dan Al Hadist.<br /><br />Lebih lanjut, Imam Putuduh dalam pemaparannya banyak mengupas hubungan manusia dengan tuhan dan alam sebagai bekal bercocok tanam sesuai dengan kitab suci Al Qur’an. Dikatakannya, hubungan segi tiga ini harus dijaga. <br /><br />“Kita semua khususnya yang terjun dalam dunia pertanian sudah diajarkan untuk menjalin hubungan baik dengan tuhan dan alam, dan itu sudah dicontohkan para ulama terdahulu yang selalu menjaga alam raya,” tuturnya mengatakan.<br /><br />Menurut Pituduh, bahwa dalam hal bercocok tanam, petani harus memahami hubungan suhu dan pertumbuhan tanaman. Karena menurutnya urusan suhu udara menjadi hal penting dalam pertanian. Begitu pula dengan persoalan struktur tanah. <br /><br />Dalam Al Qur’an telah dijelaskan struktur tanah mempunyahi dampak yang besar atas keberhasilan tanaman. Seperti tertulis dalam surat Al Mukminun ayat 18 dan al A’rof ayat 37. “Karena dalam Al Qur’an 70 persennya itu bercerita dan menerangkan tentang kondisi alam semesta,” ujarnya mengatakan.<br /><br />Petani lanjut Pituduh juga harus memahami pengaruh lingkungan terhadap perkembangan tanaman. Tanaman dikatakannya, tidak bisa hidup sendiri. ”Tanaman bukan individu yang terisolasi, tetapi mereka berinteraksi satu sama lain dengan lingkungan. Mereka saling ketergantungan, ada mutualisme simbiosis,” imbuhnya.<br /><br />Masih menurut Pituduh, unsur spiritual juga mempengaruhi baik buruknya hasil pertanian dan jika ditemukan adanya tanaman yang hasilnya jelek kemungkinan bisa disebabkan karena bibitnya juga tidak bagus.<br /><br />”Ada tidak unsur spiritual dalam penentuan bibit, siapa yang membuat atau memproduksi atau mengolah menjadi bibit?, Maka jangan disalahkan jika hasil jelek, karena bibitnya yang membuat mereka yang tidak pernah menyentuh air wudhu,” imbuhnya menyindir bibit yang tidak dihasilkan tanpa sentuhan spiritual.<br /><br />Sebenarnya, lanjut Pituduh, untuk bercocok tanam, masyarakat khususnya warga Nahdliyin bisa meniru nabi Yusuf As. Karenanya nabi Yusuf seperti yang telah ditulis dalam Al Qur’an paham betul akan kondisi kapan harus bercocok tanam kapan harus menyimpan hasil tanaman.<br /><br />”Kalau ingin kemakmuran pakarnya ya nabi Yusuf. Beliau yang menganjurkan kantong-kantong produksi. Untuk menyisihkan sebagaian hasil panen digunakan sebagai benih,” pungkasnya seraya mengatakan benih tidak sembarang dihasilkan dan itu ada dalam surat Yusuf ayat 47 hingga 49.<br /><br /><strong>Redaktur : Mukafi Niam</strong><br /><strong>Kontributor: Muslim Abdurrahman</strong></p>
Nasional
LPPNU Membedah Kitab Abu Ma&amp;rsquo;syar Al Falaki, Bertanam Menurut Al Qur&amp;rsquo;an
- Jumat, 26 Agustus 2011 | 02:57 WIB
