<strong>Oleh Bagindo Armaidi Tanjung<br />
</strong><br />
Beras yang dihasilkan dari pupuk organik dinamakan beras organik. Kualitasnya jauh lebih baik dibanding dengan beras berasal dari padi pupuk kimia yang selama ini menjadi andalan utama petani. Beras organik ditumpuk di gudang hingga 8 bulan kelihatan masih bagus. Sedangkan beras biasa (non organik) maksimal 2 - 3 bulan di huller (di gudang) sudah diserang serangga.<br />
<br />
Dari sisi berat, kata Syamrinal (45), petani di Korong Singguling Kecamatan Lubuk Alung, beras organik lebih unggul. Beras organik takaran 1 liter sama beratnya 1 - 1,2 kg. Sedangkan beras biasa takaran 1 liter beratnya rata-rata 0,8 kg. Jika takaran yang dipakai 1 gantang, sama dengan 1,6 kg.<><br />
<br />
Begitu pula dari sisi harga beras organik yang lebih mahal dibanding beras biasa. Jika harga beras biasa Rp 7.000 / 1 kg, beras organik berkisar Rp 14.000 - 15.000 / 1 kg. Sedangkan di Pekanbaru, harga beras organik lebih mahal lagi mencapai Rp 18.000 - 22.000 / 1 kg. Di Jakarta untuk harga swalayan mencapai Rp 25.000 - 32.000 / 1 kg, kata Syamrinal.<br />
<br />
Syamrinal mengakui penanaman padi dengan pupuk organik ini masih terbatas. Ia memiliki lahan 1,2 ha. Sedangkan beberapa petani lain hanya memiliki lahan kurang dari 1 ha. Meski ada peningkatan 2 - 3 kali pendapatan, pengembangan teknologi ini akan tetap menemui kendala di tengah masyarakat petani. Hal ini disebabkan trauma masa sebelumnya. Karena segala teknologi baru yang masuk ke petani setengah-tengah. Belum tahu atau belum memberikan hasil maksimal, sudah diberikan kepada masyarakat. Ketika masyarakat mencoba teknologi tersebut, akhirnya gagal. Akibatnya masyarakat melihat dulu setiap teknologi baru masuk, belum mau menggunakan langsung. Jika sudah ada temannya sukses, barulah ingin mencoba.<br />
<br />
“Jika ada pihak yang ingin membantu petani melalui program pupuk organik ini, kita siap memfasilitasinya. Kita berharap ke depan makin banyak petani yang menggunakan pupuk organik ini. Selain itu, perlu pula goodwill dari pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan pertanian ini,” kata Syamrinal.<br />
Mulai ke sawah<br />
<br />
Syamrinal sendiri seorang guru SMPN di Lubuk Alung, mengaku mulai terjun ke sawah sekitar tahun 1995. Sebagai orang yang tinggal di kawasan pertanian, rasanya kurang lengkap jika tidak memanfaatkan lahan yang ada. Sebelumnya, tahun 1991 Syamrinal dipercaya KUD mengelola huller. Empat tahun kemudian, Syamrinal mengelola sendiri huller.<br />
<br />
Dengan penggunaan pupuk organik yang menghasilkan beras organik, Syamrinal mengaku belum sanggup memenuhi permintaan pasar. Petani lain masih enggan menggunakan pupuk organik ini. Mereka menganggap hal yang baru tak mudah diterima dan diaplikasikan di lapangan.<br />
<br />
Lain pula pengalaman Harun (39 tahun) yang membuka lahan terlantar lebih dari 10 tahun dengan menggunakan pupuk organik pola NT 45. Lahan terlantar yang diolah 1,5 tahun lalu itu seluas kurang lebih 2 ha. Lahan seluas itu memerlukan pupuk organik 15 karung atau sekitar 600 kg. Jika diasumsikan harga 1 kg pupuk organik Rp 1.500, artinya membutuhkan dana Rp 900.000. Sampai tanam yang ketiga kalinya, Harun tidak lagi memakai pupuk. Hanya mengandalkan pupuk pada tanam padi pertama.<br />
<br />
Kesibukan dan ketiadaan dana untuk perawatan padi, seperti penyemprotan hama, dan pembersihan lahan dari rumput (basiang), tak pernah dilakukan Harun. Setelah ditanam, padi dibiarkan begitu saja. Artinya tidak dirawat sebagaimana layaknya tanaman padi. Seiring dengan itu, kawasan pertanian di areal sawah Harun mengalami serangan hama. Hampir menyeluruh petani tidak bisa menghasilkan padi saat panen.<br />
<br />
“<em>Alhamdulillah</em>, kami masih bisa panen 1 ton per ha. Petani lain jadi bertanya-tanya, kok Harun masih bisa panen ya. Sementara padi petani di sekitarnya nyaris tak bisa panen diserang hama,” kata Harun menambahkan.<br />
<br />
Sedangkan panen yang kedua, tanpa pemupukkan, dilanda banjir, masih bisa panen 1 ton. Sementara petani lain tidak memperoleh hasil apa-apa. (*)