Maksum: Harga BBM dan Elpiji Tidak Layak Dinaikkan

<p><strong>Jakarta, <em>NU Online<br /> </em></strong>Bahan bakar elpiji saat ini bukan hanya menjadi kebutuhan golongan ekonomi menengah ke atas, sama halnya dengan BBM, golongan ekonomi lemah dari pengusaha makanan Warteg, hingga pedagang kaki lima rata-rata menggunakan elpiji sebagai bahan bakar dalam proses produksi usaha mereka. </p> <p>Demikian dikatakan oleh Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Dr. Ir. Mochammad Maksum kepada <em>NU Online</em>, Rabu (22/12).</p><> <p>&#65533;Bila dengan kenaikan harga elpiji pemerintah tidak bersedia melakukan intervensi dengan alasan elpiji merupakan bahan bakar yang hanya dikonsumsi golongan kaya raya adalah pernyataan yang sama sekali tidak benar. Elpiji saat ini sudah dikonsumsi oleh golongan ekonomi lemah, dari mulai pedagang Warteg (warung tegal: Red.) hingga pedagang kaki lima,&#65533; kata aktivis dan peneliti masalah-masalah pertanian ini. </p> <p>Bagaimana dengan bahan bakar pertamax (bensin yang lebih bagus dibanding premium: Red.) yang juga dinaikkan, apakah juga termasuk bahan bakar konsumsi golongan ekonomi lemah, &#65533;Bukan,&#65533; jawab Maksum.</p> <p>&#65533;Pertamax memang bukan konsumsi golongan ekonomi lemah, tetapi dengan dinaikkannya harga pertamax, otomatis premium menjadi pilihan, padahal premium disediakan untuk mereka yang berdaya beli lebih rendah dari pertamax. Tapi dengan beralihnya konsumen pertamax ke premium akibat kenaikan harga, bukankah itu berarti daya beli masyarakat memang belum naik. Kalau daya beli belum naik seharusnya solusinya bukan dengan menaikkan harga bahan bakar, sebab kalau dipaksakan akan sangat menekan masyarakat,&#65533; papar peneliti yang juga wakil ketua PWNU Yogyakarta ini.</p> <p>Menurut Maksum, BBM atau elpiji bisa saja dinaikkan dengan alasan menyesuaikan dengan biaya produksi, tetapi sebelum kenaikan itu, pemerintah harus lebih dahulu menaikkan daya beli rakyat yang dari hari ke hari bertambah merosot. Sebab, kalau syarat itu tidak dipenuhi pemerintah, kebijakan pemerintah hanya akan menambah tekanan hidup rakyat yang sudah berat itu.</p> <p>Kenapa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), maupun gas dapat menekan rakyat? Sadar atau tidak, dari dulu sampai hari ini, persoalan BBM masih merupakan masalah sensitif. Kelangkaan BBM memicu kemarahan masyarakat. Demikian pula kenaikan harga BBM pasti mengundang protes, karena daya beli tetap, ditambah lagi harga kebutuhan pokok lain ikut-ikutan melambung. </p> <p>Terhitung mulai 19 Desember 2004, Pertamina menaikkan harga elpiji dari Rp 3.000 per kilogram menjadi Rp 4.250. Tidak hanya elpiji, Pertamina juga menaikkan harga pertamax dari Rp 2.450 per liter menjadi Rp 4.000 dan pertamax plus dari Rp 2.750 per liter menjadi Rp 4.200 </p> <p>Pihak Pertamina berpandangan kenaikan harga elpiji, pertamax, dan pertamax plus untuk menyesuaikan dengan tingginya lonjakan harga minyak mentah dunia. Produk elpiji, pertamax, dan pertamax plus merupakan bisnis non-BBM Pertamina yang tidak diatur harganya oleh pemerintah sehingga Pertamina tak boleh merugi. Alasan lain, untuk memberikan peluang kepada investor masuk ke sektor tersebut.</p> <p>Setiap kenaikan produk-produk yang tidak bisa dilepaskan dari keperluan masyarakat sehari-hari pasti mengundang protes. Kenaikan elpiji kontan mengagetkan kalangan ibu rumah tangga. Padahal, harga sayur mayur dan kebutuhan pokok yang melonjak di akhir tahun ini belum mampu menghilangkan kekagetan tersebut, malah menimbulkan kekagetan baru </p> <p> Kenaikan elpiji sebesar 41,6% jelas membuat para ibu rumah tangga uring-uringan. Biasanya membeli Rp38.000 (isi 12 kg) lantas meroket menjadi Rp 53.000 per tabung, siapa yang tidak bingung? </p> <p> Para pedagang sudah mengantisipasi rencana kenaikan BBM tahun depan dengan menaikkan beberapa kebutuhan pokok seperti beras, gula, daging, telur dan sayur mayur. Momentum menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru semakin membuat harga produk lainnya ikut-ikutan naik. </p> <p>Ujung-ujungnya, pihak yang sangat berat menanggung beban kenaikan ini adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Saat pendapatan tak berubah, harga-harga justru semakin menggila. Pemerintah juga menghadapi dilema, bila harga minyak dunia tidak turun secara drastis tahun depan, subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp 100 triliun. Kalau BBM dinaikkan, masyarakat berteriak.</p> <p>"Seberat apapun dilemanya, solusinya bukan dengan menaikkan harga BBM maupun gas. Kalau produksi mahal tetapi daya belinya pas-pasan, maka tidak bisa pemerintah mengedepankan alasan biaya produksi, atau demi mengundang investor global," katanya. (aka)<br /> </p>

Nasional LAINNYA