<P>Jogjakarta, <EM><STRONG>NU Online<BR></STRONG></EM>Selama ini pandangan masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan Maarif (LPM) sangat rendah. Hal itu disebabkan, karena masyarakat menganggap bahwa, LPM dianggap lembaga yang masih bernuansa tradisional. Oleh sebab itu, masyarakat enggan menitipkan anaknya untuk menutut ilmu di lembaga tersebut. </P>
<P>Demikian disampaikan Drs Sugiono, ketua lembaga pendidikan Maarif DIJ saat menjadi nara sumber dalam acara Musyawarah Kerja Wilayah(Muskerwil) Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) di pondok pesantren An-Nur Ngrukem Bantul DIJ, Sabtu (23/4). </P><>
<P>Lebih jauh Sugiono mengatakan, karena peralatan teknologi yang di miliki LPM masih sangat minim,masyarakat pun pikir-pikir ketika akan mendaftarkan anaknya di LPM. Teknologi itu penting sekali, lanjutnya, karena alat itu sebagai alat penunjang pelajaran yang menggunakan teknologi. Karena alat yang akan digunakan untuk meneliti tidak ada, maka pelajaran itu tidak bisa mencapai maksimal seperti yang diharapkan. </P>
<P>“Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita sebagai warga nahdliyin ikut memikirkan hal itu, agar padangan masyarakat terhadap Maarif tidak terkesan jelek. Kalau ada alat teknologi paling tidak kan bisa membuat kepercayaan masyarakat bertambah. Masak orang NU anaknya kok di sekolahkan di lembaga milik Muhammadiyah, ini kan aneh sekali,” sentilnya, sepontan peserta Muskerwil pun langsung tertawa, karena penampilan Sugiono seperti peserta audisi API (Akademi Pelawak Indonesia). </P>
<P>Tak hanya itu, Sugiono juga mencoba mengotak-atik, apa faktor yang menyebabkan pendidikan Maarif masih belum baik atau bagus. Dosen IKIP Jogja itu memaparkan ada empat faktor yang menjadi pengaruh antara lain, yakni karena faktor historis, kultur NU, sistem manajemen, dan SDM yang di miliki Maarif.</P>
<P>“Sistem manajemen Maarif juga perlu diubah, karena selama ini manajemen yang ada kurang profesional. Sehingga berakibat lembaga tersebut tidak mampu mengatasi persaingan diantara lembaga pendidikan yang di di Jogja,” paparnya. </P>
<P>Sementara itu, menyinggung sistem LPM dan pondok pesantren, pengamat ekonomi Revrisond Baswir SE dalam kesempatan tersebut mengatakan, bahwa pendidikan pondok pesantren tidak perlu diubah. Sebab, jika sistem pendidikan di pesantren diubah maka kekhasan yang di pesantren akan hilang, sehingga nilai-nilai budaya yang dimiliki negeri ini pun juga akan hilang.</P>
<P>“Meski saya bukan ahli pendidikan, saya menyarankan. Biarkan saja lah pesantren seperti biasanya, jangan diubah, saya khawatir jika pendidikan pesantren diubah maka ada orang asing yang akan memanfaatkan pesantren,” kata dosen UGM itu. </P>
<P>Memang selama ini tidak sedikit pondok pesantren yang mulai menggunakan sistem pendidikan modern, sehingga khas yang dimiliki pesantren berkurang. Soal LPM Revrisond mengatakan, sistem pendidikan yang ada LPM memang perlu diubah. Karena selama ini Maarif yang ada di bawah naungan langsung departemen agama masih sering kekurangan biaya, sehingga kualitas pendidikan pun juga ikut terpengaruh. </P>
<P>Muskerwil yang berlangsung dua hari ini diikuti oleh sesepuh NU se-DIJ, 20 pesantren, 20 Maarif, pengurus NU dari tingkat MWC NU hingga PWNU, dan seluruh ketua badan otonom yang ada di DIJ. (mar)</P>
<P>Kontributor NU-Online: A Riyadi Amar</P>
<P><BR> </P>