Menemukan Desa di Tengah Riuhnya Pilpres

Ilustrasi (Linggau Pos)
<div><span style="font-weight: bold;">Oleh Achmad Faiz MN Abdalla</span><br></div><div><br></div><div>Setiap datang ke warung kopi atau manapun, orang-orang banyak membahas pilpres. Bahkan pengajian di masjid sekalipun, tak luput dari pilpres. Terutama di jagat media sosial. Setiap membuka, entah facebook, whatsapp, atau lainnya, langsung disuguhi narasi pilpres.</div><div><br></div><div>Ironisnya, tak saja secara kuantitatif. Percakapan itu secara kualitatif bahkan sampai pada perdebatan sengit. Tak cukup berdebat, mereka lalu terlibat saling memaki, menghujat satu sama lain. Parahnya, itu juga sampai terjadi di antara yang sudah saling mengenal, berteman, bahkan yang masih terikat keluarga.</div><div><br></div><div>Itu tentu sulit masuk di akal. Pilpres yang sejatinya bagian dari prosedur demokrasi, justru menjadi lumbung perhujatan. Pilpres yang seharusnya menjadi lalu lintas literasi politik, justru berpotensi memicu perpecahan.</div><div><br></div><div>Perdebatan itu cenderung kusir. Banyak berita bohong atau yang belum terverifikasi, justru diperguna sebagai dalil berdebat. Sudah tak terhitung berita bohong itu terproduksi. Hal itu tentu berbanding lurus dengan banyaknya perdebatan kontra-produktif.</div><div><br></div><div>Namun di lain pihak, masyarakat justru acuh terhadap persoalan terdekatnya. Persoalan bermasyarakat yang konkret sejatinya ada di hadapan kita, tapi justru tak menjadi perhatian. Masyarakat terlalu tergiring isu di media, terutama yang berhembus di media sosial.</div><div><br></div><div>Tentu tak salah membahas pilpres. Justru sangat baik. Karena memilih pemimpin merupakan proses penting dalam bermasyarakat. Tapi bila itu justru destruktif, maka terbukti, bukan saja kualitas kontestasi pilpres yang jauh dari narasi subtantif-konstruktif, melainkan juga terabainya banyak isu konkret-strategis lainnya.&nbsp;</div><div><br></div><div><span style="font-weight: bold;">Pentingnya Pembangunan Desa</span></div><div><br></div><div>Satu dari isu konkret-strategis itu, yaitu pembangunan desa. Pemerintahan desa merupakan struktur-kultur pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat. Kebijakannya langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat.</div><div><br></div><div>Desa adalah sebuah entitas sosial yang memiliki identitas, tradisi atau pranata sosial dan kelengkapan budaya asli. Ia sebuah sistem sosial yang kemudian berkembang menjadi pemerintahan yang demokratis dan memiliki otonomi yang asli dalam mengatur kehidupannya sendiri.</div><div><br></div><div>Namun dalam perjalanan pengaturannya, sejak merdeka hingga kini, desa telah mengalami pasang surut mengikuti arus perubahan dan dinamika politik. Hal itu mengakibat eksistensi desa tak menentu, bahkan semakin hari semakin tergerus dan terpinggirkan.</div><div><br></div><div>Di masa Orde Baru, desa diatur dalam UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang menganut paham penyeragaman seperti struktur desa di Jawa. Akibatnya, lambat laun eksistensi masyarakat hukum adat di luar Jawa yang sudah eksis jauh sebelum negara ini berdiri, mengalami reduksi yang luar biasa.</div><div><br></div><div>Pun saat reformasi. Eksistensi desa dan kesatuan masyarakat hukum adat memang kembali mendapat pengakuan. Akan tetapi, eksistensinya direduksi menjadi bagian dari wilayah atau daerah kabupaten/kota yang pengaturannya disatukan dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.</div><div><br></div><div>Barulah empat tahun lalu, lahirlah UU 6/2014 tentang Desa. UU tersebut mengakomodir eksistensi desa dan desa adat. Meskipun dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi negara tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.</div><div><br></div><div>Itulah keinginan ideal tentang perwujudan kemandirian desa atau otonomi desa. UU Desa terbaru telah mengusung semangat membangkitkan prakarsa dan potensi lokal yang dimiliki masyarakat desa. Karenanya, dipertegas Presiden Jokowi melalui nawacitanya, yakni membangun Indonesia dari pinggiran.</div><div><br></div><div>Di antara bunga dalam pembangunan desa itu, ialah dana desa. Bagaimana otonomi itu telah dikonkretkan pemerintah tidak saja melalui penguatan desa secara yuridis-normatif, namun juga secara anggaran. Setiap tahun dana tersebut mengalami kenaikan. Hal itu diharapkan mampu memberdayakan masyarakat seraya meningkatkan perekonomian desa.</div><div><br></div><div>Pertanyaannya, apakah pemanfaatan dana itu sudah tepat guna dan hasil guna? Inilah yang menjadi tugas bersama. Secara umum, bagaimana cita-cita normatif UU Desa mewujud secara empiris. Tentu itu membutuhkan peran serta masyarakat. Bukan saja sebagai penonton, melainkan sebagai subyek bersama pemerintah desa memastikan adanya pembangunan partisipatif.</div><div><br></div><div>Karena masih banyak ditemukan, masih jauhnya jarak kebijakan dengan aspirasi masyarakat. Di lapangan, penulis kerap menemukan, bagaimana prioritas pembangunan yang dilakukan pemeritah desa kurang memiliki urgensitas bagi masyarakat.&nbsp;</div><div><br></div><div>Karenanya, bilapun dana itu telah digunakan secara riil, apakah telah sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Berhasil tidaknya dana desa tak cukup dilihat seberapa tinggi terserapnya dana tersebut. Melainkan juga perlu diperhatikan, seberapa lancar saluran politik di internal desa untuk dapat menyerap aspirasi masyarakat.&nbsp;</div><div><br></div><div><span style="font-weight: bold;">Menemukan Desa</span></div><div><br></div><div>Desa semacam menjadi penyangga dari struktur pemerintahan makro di Indonesia. Ia merupakan ujung tombak apakah kebijakan pemerintah benar-benar terterap di masyarakat. Karenanya, sekali lagi, desa memiliki peran yang penting bagi demokrasi dan sistem pemerintahan di Indonesia.&nbsp;</div><div><br></div><div>Riuhnya isu pilpres akhir-akhir ini perlu dilihat sebagai peluang. Bagaimana masyarakat begitu antusias terhadap isu pemerintahan. Lantas yang menjadi pekerjaan bersama kemudian, bagaimana perhatian besar itu diarahkan ke arah yang konkret-strategis tentang desa.</div><div><br></div><div>Bukan berarti pilpres selalu abstrak dan kontra-produktif. Sebagai proses penting berdemokrasi, pilpres harus tetap diperhatikan untuk menjauhi narasi destruktif. Namun selain itu, bagaimana masyarakat juga diarahkan untuk memperhati isu konkret-strategis seperti desa.</div><div><br></div><div>Maka di sini, peran media sangat berarti. Kesuksesan pembangunan desa perlu banyak dikampanyekan. Bagaimana di desa-desa telah banyak tumbuh gerakan memajukan desa. Mereka mampu mengangkat potensi lokal, terutama produk-produk usaha kreatif.</div><div><br></div><div>Di sinilah kemampuan bermedia diperlukan. Setiap desa seyogyanya gencar berlalu lalang di media sosial. Tidak saja untuk mempromosikan produk-produk usaha mereka, atau menarasikan kegiatan pembangunan desa mereka, tapi juga sebagai bagian kampanye pentingnya pembangunan desa.</div><div><br></div><div>Apabila itu terwujud, niscaya riuhnya pilpres tak sekedar menjadi lumbung percacian atau saling klaim siapa paling kuat untuk memenangi pilpres. Melainkan telah menjadi arena untuk bersama-sama membangun Indonesia. Siapapun presidennya, bila desa tak kunjung mampu memanfaatkan berkah UU Desa, maka sulit terwujud Indonesia yang dicitakan. Karena desa merupakan pondasi penting bernegara di Indonesia.</div><div><br></div><div><br></div><div><span style="font-style: italic;">Penulis adalah Mahasiswa PKPA Fakultas Hukum UGM Yogyakarta 2018</span></div>

Nasional LAINNYA