Pilpres Langsung Cegah Oligarki Parlemen

<P>Jogja, <STRONG>NU Online</STRONG><BR>Pengamat politik dari UGM Yogyakarta, Arie Sujito menilai pemilihan presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat yang akan dilaksanakan pada 5 Juli 2004 merupakan jalan strategis untuk mencegah oligarki parlemen.</P> <P>"Dengan cara itu, politik di poros kepresidenan akan ditentukan oleh ’civil society’, bukan oleh kehendak parlemen semata. Itulah sumber legitimasi yang kokoh," katanya pada seminar Demokratisasi Dalam Pemilihan Presiden 2004 di Yogyakarta, Selasa.</P><> <P>Namun, menurut dia, persoalannya adalah proses membangun demokrasi langsung dari bawah melalui pilpres tampaknya belum diikuti dengan desain perombakan struktur otoritarian lembaga kepresidenan ke arah demokratisasi institusi kepresidenan.</P> <P>Ia mengatakan, sejauh ini kekuasaan lembaga kepresidenan memang belum terbingkai dalam kerangka demokratis. Dulu seorang presiden, dengan hanya dipilih oleh parlemen, memiliki kekuasaan "over strong", dan hingga kini belum ada regulasi, misalnya dalam bentuk UU kepresidenan yang mengatur tentang kewenangan dan pembatasan kekuasaan presiden dalam koridor demokrasi.</P> <P>Akibatnya, otoritarianisme bisa sewaktu-waktu muncul dari institusi tersebut. Pengalaman ini memang pernah terjadi pada era Soekarno dengan demokrasi terpimpin, dan secara dahsyat di zaman Soeharto melalui militerisasi politik di dalam lembaga kepresidenan.</P> <P>Meskipun demikian, ia mengakui, dalam prosesnya, "dekonstruksi" atas struktur otoritarian lembaga kepresidenan pernah ditempuh melalui demiliterisasi politik pada era pemerintahan Gus Dur. Sayang upaya itu tidak berlangsung lama, dan pelembagaan demilitersaisi agar tertransformasi menjadi "mainstream" politik di era pasca otoriterisme mengalami kegagalan.</P> <P>Kemudian lembaga kepresidenan menguat kembali melalui desain politik pseudo-demokrasi, yang salah satunya ditandai dengan menguatnya kembali militerisasi pada era Megawati. Inilah kemunduran politik karena tata politik diisi upaya restorasi militer yang di-"back up" oleh politik berwatak Orde Baru.</P> <P>"Sehubungan dengan hal itu, kunci terpenting dalam membangun demokrasi Indonesia ke depan adalah kekuasaan harus ditandai oleh struktur dan watak sipil yang demokratis. Pengalaman militerisasi struktur kepresidenan dan parlementaris, serta militerisme politik sipil selama ini telah beresiko pada rusaknya tatanan demokrasi," katanya.(mkf/an)<BR>     <BR></P>

Nasional LAINNYA