<p>Di tengah perjalanan pulang dari rumah komunitas yang saya giati, tetiba teringat, persediaan kopi di rumah telah habis. Di perempatan jalan yang mempertemukan Cirebon dan arah Kuningan, saya berhenti untuk berburu bibit minuman yang paling laris di negeri ini. <br /><><br />Di sini memang lengkap, usai salat Isya, lokasi dekat sekolah SMA ini bak pasar malam. Penjual martabak, keripik singkong, jamu, sega jamblang, mie ayam dan bakso, juga tentu, warung kopi pun terlihat jelasnya seperti juga kepul asap pabrik gula tinggalan Belanda yang tepat berada di belakangnya. <br /><br />Kata orang-orang, berbelanja barang semacam gula dan kopi lebih praktis dan nyaman di minimarket-minimarket yang semakin banyak bercokol itu, namun beda dengan ada yang di benak ini, di warung kopi, meski beda-beda harga sedikit, ada saja obrolan yang biasanya tidak terukur nilainya. Orang-orang biasa berkerumun, bermodal kopi segelas-dua gelas, gorengan dan camilan lain yang hangat, mereka berbincang dengan begitu mengalirnya, tanpa batasan tema, tanpa kesepakatan waktu alias kontrak belajar, terlebih di malam-malam bulan Ramadan.<br /><br />Tapi, untuk malam ini, warung kopi langganan saya tampak belum terlalu banyak orang. Hanya ada 4 orang yang saya kira mereka baru berteman, berbincang dan dipertemukan di warung kopi ini. Salah satunya saya kenal, dia biasa disapa Kang Badrun, anggota Banser NU yang -saking bangganya- selalu memakai seragam loreng-loreng ala tentara tempo dulu. <br /><br />Kang Badrun duduk dekat kaleng kerupuk, berhadapan dengan televisi 14 inci yang terpasang di pojok atas. Satu lagi bernama Bi Adminah, si pemilik warung yang sedari tadi saya lihat sedang sibuk sekali, setelah ditanya, konon sedang mencari tikar untuk persiapan nonton bareng final piala dunia malam nanti. <br /><br />Bi Adminah rupanya sudah paham betul pelanggannya akan terbagi menjadi dua kelompok, makanya ia sediakan tikar berwarna biru langit untuk penggemar Argentina, dan corak warna hitam dan merah untuk pendukung Jerman, meski keduanya teta saja layaknya tikar-tikar yang banyak dijual di pasaran, bergambar kubah masjid.<br /><br />Dua orang lagi awalnya memang tak saya kenal. Belakangan diketahui, namanya Pak Jufri, salah satu perangkat desa di kampung sebelah. Satunya lagi bernama Soleh, alumni Pesantren Lirboyo yang kini menjadi guru agama di salah satu SMP swasta. Di mulai dari tegur sapa yang dingin dan asing, mereka akhirnya terlibat perbincangan hangat dan menarik, saya dengar dan tangkap keasyikannya, niat awal hanya untuk membeli kopi kemasan sachet, lama-lama Bi Adminah juga menyuguhiku segelas kopi hangat. Semacam terkena jebakan tikus, saya turut dalam perbincangan.<br /><br />“Malam nanti, kira-kira siapa yang menang, Pak,” tanya Soleh kepada Pak Jufri dan Kang Badrun.<br /><br />“Saya kira Jerman, soalnya kemarin kan tahu sendiri, si tuan rumah Brazil saja diseret-seret begitu,” jawab Kang Badrun seraya terbahak.<br /><br />Mendengar jawaban yang bernada tebak-tebakan, Pak Jufri rupanya tak mau ketinggalan. “Belum tentu, Kang. Bola itu bundar. Bukan urusan rekam jejak atau masa depan. Tapi cuma hitung-hitungan keberuntungan. Nah, Argentina itu ibaratnya main di kandang sendiri, benua Amerika. Insyaallah menanglah.”<br /><br />“Wah...wah, ngomentarin sepak bola saja pakai kata rekam jejak segala, Pak. Kayak Pilpres saja. Rekam jejak itu memang senjata ampuh buat dukung-dukungan, meskipun saya ya tetap manut kiai, apa yang dipilih kiai ya saya pilih juga,” saut Soleh sembari mengucurkan kopi dari cangkir ke tatakannya agar lekas sedikit dingin.<br /><br />“Salah kamu, Leh, rekam jejak itu penting. Bagaimana mau becus mimpin negara jika masa lalunya diduga ada masalah. Tapi, iya juga ya, Pilpres saja masih membingungkan siapa yang menang, kedua calon mengaku menang semua, haduh,” sahut Pak Jufri.<br /><br />“Ya sabarlah, Pak, tunggu dua minggu lagi, setelah tanggal 22 kan semuanya menjadi jelas,” ucap Bi Adminah sembari meletakkan kopi di hadapan Kang Badrun.<br /><br />“Tapi kok rasa-rasanya bulan Ramadan ini kok jarang dibahas orang-orang ya?, tahun-tahun lalu orang-orang di sini biasanya berbincang tentang jadwal ngaji pasaran, menu berbuka, sampai persiapan peringatan Nuzulul Qur’an hingga mudik,” lanjut Bi Adminah.<br /><br />“Nah, itu dia, sudah hampir dua minggu kita sibuk soal copras-capres dan piala dunia, berarti separuh puasa kita telah tercuri, lalu, siapa yang salah?,” tegas Kang Badrun dengan senyum agak kecut. (Sobih Adnan/Abdullah Alawi)<br /><br /></p>