<div>Jakarta, <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">NU Online</span><br></div><div>Keterbelahan atau polarisasi masyarakat yang ditimbulkan karena pilihan politik menjadi keprihatinan Nahdlatul Ulama yang selama ini menjunjung tinggi prinsip-prinsip politik kebangsaan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika.</div><div><br></div><div>Sebab itu sejak awal, NU menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk menempatkan kepentingan bangsa dan kepentingan kemanusiaan secara luas di atas kepentingan pribadi dan golongan.</div><div><br></div><div>Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu kembali menjunjung <span style="font-style: italic;">ukhuwah wathoniyah</span> atau persaudaraan sesama bangsa atas polarisasi yang terjadi pasca-pemilihan presiden 2019.</div><div><br></div><div>Ia menilai perjalanan demokrasi Indonesia banyak mendapat apresiasi dari dunia internasional. Kiai Said mendorong agar pandangan positif dunia terhadap kerukunan bangsa Indonesia terus terjaga dengan menunjukkan sikap dewasa dalam berdemokrasi.</div><div><br></div><div>"Kepada seluruh masyarakat Indonesia terutama umat Islam, mari kita tunjukkan pada dunia internasional bahwa kita umat Islam Indonesia sudah dewasa, sudah mengerti tentang berdemokrasi, berhasil menjalankan demokrasi dengan baik, dengan legowo dan bermartabat sehingga siapa pun pemenangnya itulah presiden kita, itulah wakil presiden kita," terang Kiai Said, Kamis (27/6) kemarin.</div><div><br></div><div>Penegasan tersebut disampaikan Kiai Said sesaat setelah Mahkamah Konstitusi mengetok palu putusan perselisihan hasil pilpres 2019 yang tetap memenangkan pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. MK menolak seluruh gugatan paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.</div><div><br></div><div>NU menyatakan bahwa demokrasi yang baik harus ditopang oleh kemajuan berpikir warga negaranya. Semua harus mengedepankan kepentingan bangsa. Hal itu harus terus dilakukan ke depan dalam setiap perhelatan politik demi menjaga harmonisasi bangsa Indonesia.</div><div><br></div><div>Apalagi atas polarisasi yang terjadi selama ini gegara perbedaan politik telah menimbulkan gejolak dan konflik horisontal sesama anak bangsa. Sehingga politik identitas seperti narasi agama dan kesukuan perlu diubah menjadi politik sehat dan bermartabat.</div><div><br></div><div><span style="font-weight: bold;">Mencegah Polarisasi</span></div><div><br></div><div>Polarisasi masyarakat akan terus berulang jika perdebatan di seputar pemilihan presiden di Indonesia masih di seputar kandidat, bukan soal rekam jejak, visi, dan program kerja.</div><div><br></div><div>"Kita harus mengubah perilaku pemilih menjadi rasional, sehingga mereka memilih berdasarkan apa misi kandidat ke depan, apa prestasi kandidat, dan apa dilakukan kandidat sebelumnya," kata Cecep Hidayat, pengamat politik UI dikutip <span style="font-style: italic;">NU Online</span> dari <span style="font-style: italic;">BBC News.</span></div><div><br></div><div>Pemilih yang rasional, sambungnya, akan menjatukan keputusan berdasarkan visi, misi, dan program kerja calon. Sedangkan pemilih yang tidak rasional akan menentukan pilihan berdasarkan basis-basis irasional, seperti kesukuan, agama dan identitas-idenitas lainnya.</div><div><br></div><div>Sebab selama ini, polarisasi pilihan politik yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia ialah mudah dipicu oelh politik idenitas. Isu-isu fundamental, seperti agama, adalah isu yang paling mudah dipicu untuk melahirkan sentimen-sentimen dasar dalam politik.</div><div><br></div><div>"Dan ini ditunjang oleh politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), sehingga kemudian isu-isu SARA berkelindan dengan isu-isu politik. Ini membuat sebagian besar masyarakat menjadi ada yang rasional dan irasional. Jadi ada pembelahan," jelas Cecep.</div><div><br></div><div><span style="font-weight: bold;">Rekonsilisasi Nasional</span></div><div><br></div><div>Gejolak nasional dari proses pemilihan presiden perlu ditutup dengan rekonsiliasi nasional. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Yaqut Cholil Qoumas. Rekonsiliasi ini bukan hanya harus dilakukan oleh para elit politik, tetapi juga masyarakat Indonesia secara luas.</div><div><br></div><div>GP Ansor mendukung sekaligus mendorong rekonsiliasi nasional antara Jokowi dan Prabowo serta para pendukungnya. Hal ini penting untuk segera dilakukan demi tegaknya persatuan Indonesia.</div><div><br></div><div>“Pak Jokowi dan Pak Prabowo selama ini bersahabat baik. Mereka berdua adalah negarawan, tahu saatnya berkompetisi dan tahu saatnya berangkulan seiring sejalan. Jalan rekonsiliasi Insyaallah sebentar lagi terwujud,” tegas Gus Yaqut, Jumat (28/6) di Jakarta.</div><div><br></div><div>Gus Yaqut mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk kembali bekerja sesuai profesinya dan bersama-sama membangun negeri demi kemajuan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik.</div><div><br></div><div>“Keputusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya final dan mengikat memberi arti kepada kita untuk menyudahi perbedaan pilihan politik. Mari sama-sama membangun negeri, dan selamat bekerja kepada Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan,’’ tandasnya. <span style="font-weight: bold;">(Fathoni)</span></div>
